Meet Mrs. Marquez
“Dengar
sayang, ayahmu memang lebih tau tentang Marc. Dia lebih lama tinggal di
Barcelona sementara kau baru saja beberapa bulan.”
“Tapi
apakah Ayah tau apa yang Amanda butuhkan?”
“Sayang
turuti saja apa yang dikatakan oleh Ayahmu. Toh itu untuk kebaikanmu juga.”
Klik..
Amanda
memutuskan percakapannya. Ternyata berbicara dengan Mamahnya sama sekali tidak
membantu, malah mempersulit keadaannya. Kemudian ponselnya berbunyi kembali.
Nomernya tidak dikenali tetapi kode nomernya bukan dari Indonesia.
“Holla?,”
ujarnya menempelkan ponsel ke telinganya.
“Hay
Amanda, ini aku Marc.”
“Hay
Marc, ada apa?.” Tanya Amanda dengan suara parau.
Gadis
itu masih menangis. Tapi kali ini tangisannya bukan tentang kesakitannya tetapi
tentang kebahagiannya. Dia sangat senang Marc menelepon dirinya di saat
perasaannya sedang buruk.
“Kau
kenapa?”
Amanda
cepat-cepat menghapus air matanya seolah-olah Marc tidak senang melihat Amanda
menangis.
“T..tidak
Marc, aku baik-baik saja,”
“oh
syukurlah.”
Amanda tersenyum, dia senang mendengar Marc
bertanya tentang dirinya.
“Ada
apa Marc?” tanya Amanda lagi.
“Well,
apakah besok kau tidak ada acara?”
Amanda
melirik lukisannya yang ditutupi oleh kain putih. Lukisan itu masih 85%
pengerjaannya, tak apalah jika besok dia libur dulu melukis, dia akan
membayarnya dengan mengerjakan lembur.
“Kau
sibuk melukis ya?,” tebak Marc.
“T..tidak
kok,”
“Okey
kalau begitu besok aku jemput jam 10, okey?, temani aku latihan dengan Alex dan
Rabat. Bagaimana?,” Sebuah senyumanpun merekah di wajah cantik Amanda.
“Baiklah.”
*****
Pagi
sekali Amanda sudah bangun. Gadis itu mencuci wajahnya dan mulai mengerjakan
lukisan yang pengerjaannya baru 85%. Sebelum melukis dia melihat kalender yang
berada di ponselnya tersebut. Tinggal seminggu lagi hari yang ditunggu-tunggu
olehnya. Bisalah Amanda menyelesaikan lukisannya sebelum hari istimewa itu.
Kring…
Ponsel
gadis itu berbunyi. Dia beranjak dari duduknya dan melihat jam beker didekat
tempat tidurnya. Ternyata sekarang sudah jam 7 pagi. Amanda keasyikan melukis
sehingga ia lupa waktu.
“Halo,”
ujarnya menempelkan ponsel ke telinganya.
“Amanda
ini aku Marc. kau sudah siap? Aku jemput ya?”
Amanda
mengerutkan keningnya. Bukannya jam 10 Marc akan menjemputnya.
“Bukannya
jam 10 kau akan menjemputku?”
Orang
yang diseberang sana menggaruk-garuk kepalanya.
“Mommyku
ingin bertemu denganmu.”
Deg….
Hati Amanda bergetar. Untuk apa Mommy Marc ingin bertemu dengan dirinya.
“Mommy
mu? M….memangnya ada apa?” tanya Amanda gugup.
“Aku
juga tidak tau. Katanya ada urusan denganmu. Aku jemput ya sekarang?”
Lantas
gadis itu bergegas melihat pantulan dirinya di cermin riasnya. So mess tampilannya kali ini. Rambutnya
acak-acakan dan yang paling parah ada sesuatu disudut matanya. Sepertinya
Amanda tidak bersih mencuci mukanya tadi.
Gadis
itu melihat bekernya kembali. Dia memperkirakan berapa menit dia akan mandi.
“Amanda,
kau masih disitu?”
“Eum…
Marc-“
“Aku
tau kamu belum mandi kan?”
Amanda
melongo mendengar apa yang dikatakan Marc. pipi gadis itu merah. Dia malu di
tanya seperti itu oleh orang yang disukainya.
Lelaki
yang disebarang sanapun tertawa.
“Aku
benarkan? Kau jangan salah, aku ini mantan peramal loh.”
Amanda
berdecak. “Yasudah aku mandi dulu ya.”
Marc
masih tertawa. “Pantesan disini kok baunya aneh ya. Seperti bau seseorang yang
belum mandi setahun.”
“Berisik
Marcquez!!!”
*****
Walaupun
lelaki itu sudah selesai mengobrol dengan Amanda lewat telepon, lelaki itu
masih terus tertawa. Roser, melihat salah satu putranya yang tertawa sendiri di
ruang TV pun menghampirinya.
“Kau
ini kenapa Marc tertawa sendiri? Kau seperti orang gila.”
Marc
menghapus air matanya. “Ini mom Amanda lucu sekali,” ujarnya.
Roser
tersenyum. “Bagaimana? Pacarmu itu akan datang kesini?”
Marc
terkejut dengan perkataan Mommy nya. “Amanda bukan pacarku Mom.”
“Yasudah
lupakan. Dia jadi kesini kan?” Marc mengangguk.
*****
Alex
menguping pembicaraan Mom nya dan kakaknya di tangga. Rasanya tidak
ada seseorang yang berpihak ataupun mendukungnya untuk menyukai Amanda. Momnya
sudah ada di pihak kakaknya, Dad nya? Alex menghela napas. Dad nya mana mungkin
memihak salah satu anaknya. Tuhan? Entah lah apa Tuhan memihak pada dirinya
atau pada kakaknya.
Setelah
Marc pergi ke bagasi, lelaki jangkung itupun menemui Mom nya yang sedang masak
di dapur.
“Mom,”
ujar Alex yang duduk di salah satu kursi meja makan.
Tanpa
berbalik Roser berbicara. “Kau sudah mandi belum Alex?”
“Sudah.
Eum… Amanda mau datang ke sini?”
Roser
berbalik dan menatap putra bungsunya. “Iya. Aku ada keperluan dengannya.”
“Kenapa
tidak ke rumahnya saja?”
Yang
ditanya malah bertanya balik. “Memangnya kenapa kalau aku mengundangnya
kesini?”
Alex
mengangkat bahunya. “Tidak kenapa-kenapa sih.”
Mom
nya tersenyum dan duduk di dekat Alex. wanita itu ingin lebih mengenal Amanda
lewat putra bungsunya tersebut.
“Well,
Amanda itu seorang pelukis ya?”
Alex
menganguk dan mengambik Apel yang tersaji di tengah-tengan meja makan.
“Amanda
itu anaknya Gerardo dan memiliki darah Asia tepatnya Indonesia. Saat di
Indonesia lukisan Amanda pernah di ikut sertakan dalam perlombaan dan tak
jarang lukisannya menang,” ujarnya sebari mengunyah.
“Apa
Marc tau tentang itu?”
“Mana
aku tau.”
“Lantas
kau tau dari siapa?”
Alex
terdian dan memandang Mom nya dengan curiga.
“Aku
diberi tau oleh mbah google."
Gadis
itu mematut dirinya di cermin rias. Dia memoleskan merah pipi dan lip gloss
pada bibir mungilnya. Selama di Barcelona dia baru kali ini dandan seperti itu.
Biasanya dia hanya menggunakan bedak saja, rambutnya pun dia sisir sewajarnya.
Tapi kali ini dia tata. Menggunakan alat kriting rambutnya yang tak pernah
dipakai, gadisi itu mengkeriting gantung rambutnya ya walaupun dia tidak tau
apakah keriting gantung cocok untuknya atau tidak.
Bel
rumah Amanda berbunyi. Gadisi itu cepat-cepat menyelesaikan dandannya dan
menuju pintu. Dia membukakan pintu yang disambut oleh sang pemencet belnya
dengan ekspresi terpesona. Amanda yang melihat tingkah laku Marc pun menjadi
malu.
“Aku
baru kali ini melihat kau berdandan,” ujar Marc.
Amanda
hanya tersenyum dan mempersilahkan Marc masuk.
“Kau
mau minum apa?”
Marc
mengkerutkan keningnya dan menatap Amanda yang pergi ke dapur. “Aku tidak akan
lama, aku kan akan menjemputmu,” ujar Marc.
“Oiya
aku lupa,” teriak Amanda. “Maaf Marc.”
Marc
terkekeh dan iseng melihat ornament-oranament rumah Amanda. Lelaki itu takjub
dengan lukisan Amanda yang di pajang di ruang TV. Lukisan itu menggambarkan
seorang penari yang memakai baju tidak dikenalinya yang memasang tampang
menyeramkan. Jika Marc menjadi Amanda, lelaki itu tidak akan memasang lukisan
yang menyeramkan itu diruang TV. Bagaimana jika dia sedang menonton film horror
dan tiba-tiba saja lukisan itu bergerak? Menyeramkan! Marc begidig
memikirkannya.
Lelaki
itu kembali lagi ke ruang tamu tetapi langkahnya sempat terhenti saat melihat
sebuah ruangan –mungkin kamar Amanda- yang terdapat sebuah lukisan. Lukisan itu
ditutup oleh kain putih. Marc penasaran dengan lukisan tersebut. Tanpa pikir
panjang lelaki itu masuk ke ruangan tesebut.
“Kau
tidak boleh masuk kesitu! Itu kamarku Marc,” teriak Amanda cepat-cepat menutup
pintu kamarnya.
“Aku
hanya ingin melihat lukisan itu.”
“Nanti
saja kalau sudah berses.”
Lelaki
itu mengangguk. Dan keduanyapun berjalan keluar rumah.
“Memangnya
itu lukisan apa?”
Amanda
menatap Marc dan tersenyum. “Kau penasaran ya?”
“Aku
hanya ingin tau saja.”
Amanda
tertawa. “Seharusnya kau tau apa yang ada di balik tirai tersebut. Kau kan
peramal.”
“Aku
kan mantan peramal, Amanda.” Dan keduanyapun tertawa.
Amanda
celingak celinguk mencari sebuah mobil. Gadis itu tidak menyadari bahwa Marc
tidak membawa mobil untuk menjemputnya. Dan tangan kekar Marc menggemgam tangan
Amanda dan membawanya pada motor CB150R.
“Karena
ini masih pagi jadi aku berniat menjemputmu menggunakan motor supaya aku bisa
menghirup udara pagi,” ujar Marc menjelaskan. Lalu, lelaki itupun naik pada
kuda besinya. Amanda
bengong melihat Marc yang membawa motornya.
“Walaupun
aku seorang pembalap, aku tidak akan ngebut-ngebut kok kalau membawa
penumpang,” ujar Marc.
“Masalahnya
bukan itu Marc. Aku kan tidak menggunakan celana,” Amanda memerhatikan dress
selututnya.
“Yasudah
kau duduk miring saja.”
Amanda
mengkerucutkan bibirnya dan melakukan perintah Marc. Sebenarnya dia takut kalau
naik motor posisinya seperti itu. Gadis itu takut tidak bisa menjaga
keseimbangannya jika tiba-tiba saja motor yang ditumpanginya berbelok atau
berhenti mendadak.
“Jangan
ngebut ya Marc,” pinta Amanda kepada Marc yang sudah menjalankan kuda besinya.
Marc
mengangguk. “Tapi tidak pelan-pelan juga kali Marc,” Marcpun terkekeh.
*****
Roser
sudah menyiapkan sarapan untuk tamu nya. Dia juga sudah menata rumah sedemikian
rapihnya. Wanita itu tampak senang mengundang Amanda dan tampak excited menunggu kedatangan anak Indo
tersebut.
“Alex
sebaiknya kau turun dari kamarmu itu. Tidak baik diam terus di kamarmu
sementara ada tamu yang akan datang,” teriak Roser.
Alex
yang dari tadi berdiam diri di kamarnya turun dari “goa” nya. Lelaki itu
memakai kaos biru dan setelan jeans.
“Ayo
kita sarapan bersama dengan Amanda,” ujar Roser.
Alex
mengangguk dan diapun menonton TV menunggu kedatangan Amanda. Dia memang sangat
senang kalau Amanda akan berkunjung ke rumahnya, tapi dia juga agak tidak
senang bahwa yang menjemputnya itu kakaknya. Kenapa coba tidak dirinya saja?
Juga, dia kalah memperkenalkan orang yang disukai nya kepada Mom nya.
20
menit berlalu. Marc dan Amanda sudah sampai di kediaman Marquez. Setelah turun
dari motor, gadis itu tidak langsung mengekor Marc, dia malah mengaca di kaca
spion untuk memastikan bahwa tampilannya baik-baik saja.
“Kau
sedang apa? Ayo,” ajak Marc.
Amandapun
berlari kecil menuju Marc.
Di
depan pintu sana sudah ada Roser dan Alex menyambut kedatangan Amanda. Amanda
tampak gugup di perlakukan seperti ini. Ini adalah pertama kalinya bagi
Amanda bertemu dengan Ibu dari orang yang disukainya dan di undang ke rumahnya
pula. Rasanya dia ingin menyanyikan lagu The Best Day Ever yang ada di film
Spongebob. Kalau begini caranya, dia jadi betah tinggal di Spanyol.
“Halo
sayang, kau tampak sangat cantik sekali,” puji Roser sebari memeluk Amanda.
“Terimakasih
Mrs. Marquez,” ujar Amanda.
“Hai
Alex bagaimana kabarmu?” tanya Amanda pada lelaki yang berdiri di sebelah
Roser.
“Seperti
biasa Amanda, menyedihkan,” celetuk Marc terkekeh.
“Marc!”
pelotot Roser.
Marc
berdecak. “Okey. Aku hanya bercanda.”
*****
Lelaki
itu tersenyum saat melihat seorang gadis menghampiri dirinya dan Mom nya. Dia
membayangkan jika dirinya saat ini sedang berada di altar. Tapi seseorang
menjatuhkannya dari atas langit. Dia adalah kakaknya.
Marc
tampak sangat berisik sekali saat menyuruh Amanda mengikutinya. Gadis itu juga
tidak mengeluh ataupun apa. Mungkin hanya ada kesenangan di dirinya sekarang,
tidak peduli Marc begitu berisiknya.
Alex
berpikir, kenapa dia harus menyukai seorang gadis yang malah menyukai kakaknya.
Bagiamana kalau kakak nya juga menyukai gadis itu? tapi kalau tidak, apakah
dirinya bisa meyakinkan Amanda bahwa dia lebih baik daripada Marc?.
Hati
lelaki itu berdegup sangat kencang saat Amanda sudah berada di hadapannya.
Gadis itu menanyakan kabar dirinya. Alex tersenyum. Tetapi sebuah celetukan
Marc membuat senyum di wajahnya memudar.
Saat
Mom nya dan Amanda sudah masuk kedalam. Alexpun mengucapkan ke kesalannya itu
kepada kakaknya.
“Kau
ini Marc berkata seenaknya saja,” ujarnya.
Marc
terkekeh dan merangkul adiknya tersebut.
“Aku
hanya bercanda Bro, jangan di ambil hati ya.”
Alex
menghela napas. Sekesal-kesalnya dia pada kakaknya, Alex tidak bisa marah
kepadanya. Hanya ucapan itulah yang keluar dari mulutnya. Bukannya dia takut
pada kakaknya, tapi dia menyayanginya dan juga menyeganinya.
*****
Setelah
mereka sarapan bersama, Roser mengajak Amanda mengobrol di halaman belakang
rumahnya. Sementara ke dua putranya disuruh untuk membereskan meja makan.
Amanda
sangat cepat akrab dengan Roser. Dan Roser merasa kalau Amanda ini adalah gadis
terbaik dari sekian gadis yang dibawa oleh Marc. Roser berharap bahwa gadis ini
nantinya akan mendampingi Marc kelak.
“Well,
kau ini seorang pelukis kan?”
Amanda
menganngguk. “Dan juga fotografi,” tambahnya.
Roser
maanggut-manggut. “Dari mana kau belajar seni melukis dan fotografi, sayang?”
“Ibu
ku yang mengajarinya. Dia seorang pelukis juga.”
“Wah
berarti Ibumu mewariskan ke ahliannya kepadamu. Eum kau ini anak tunggal ya?”
Amanda
mengangguk, “iya aku anak tunggal.”
“Kenapa
tidak dari dulu kau tinggal di Spanyol? Ayah mu kan orang Spanyol.”
“Dulu
sewaktu Ayah dan Ibuku bersama-“
Roser
tampak tak enak bertanya seperti itu.
Dia baru mengetahui kalau orangtua Amanda sudah tidak bersama.
“Kami
tinggal di Indonesia, lebih tepatnya di Bandung. Ayah sering bolak-balik ke
Barcelona untuk mengurus pekerjaannya. Beliau juga sempat mengajak kami tinggal
di Barcelona, tapi Ibu ku menolaknya karena orangtua Ibu ku sudah tua dan tidak
ada yang mengurusnya. Ayah ku juga menyuruh untuk membawa orangtua Ibu ku
tinggal di Barcelona tapi Ibu ku enggan. Entahlah kenapa.”
“Oiya
Amanda maksudku menyuruh Marc untuk mempertemukan aku denganmu adalah aku ingin
meminta bantuan mu,” ujar Roser mengalihkan pembicaraan.
Amanda
menyeruput teh nya dan bertanya, “bantuan apa
Mrs. Marquez? Semoga aku bisa membantu.”
Ah
anak ini memang baik dan sopan, pikir Roser.
“Aku
ingin kau melukiskan keluargaku. Bagaimana? Bisa? Kau lukis dari gambar poto
keluarga ku, nanti akan ku beri kau potonya.”
Amanda
menimbang-nimbang, “okey bisa,” ujarnya memutuskan.
“Ternyata
kau ada di sini Amanda,” ujar Marc.
“Mom
aku pinjam Amanda sebentar ya,” ujar Marc dan mengisyaratkan Amanda untuk
mengikutinya.
“Ayo
kita pergi,” ujar Marc memakai jaketnya.
“Kemana?”
“Masa
kau lupa.” Amanda melihat jam dan dia baru menyadari alasan Marc menjemputnya,
tentunya selain bertemu dengan Mrs. Marquez.
“Marc
aku tidak membawa kameraku.”
Marc
menghela napas. Sepertinya Marc sedang kesal, terlihat dari ekspresi Marc. Amanda
menunduk, dia tidak ingin membuat orang yang disukainya marah. Lelaki itu tidak
berkata apa-apa. Dia menuju ke garasi dan Amanda mengikutinya.
Di
garasi sudah ada Alex yang sedang memanaskan mobil. Marc lantas memakai helmnya
dan berkata pada Alex bahwa dia dan Amanda akan menyusulnya.
“Memang
ada apa Marc?” tanya Alex keluar dari mobil.
“Aku
mengantar Amanda untuk membawa kameranya.”
“Biar
aku saja yang mengantarnya,” pinta Alex sekalian modus.
Marc
menggeleng. “Tak apa aku saja. Kau pergi duluan saja.”
Dan
lelaki itu menunggangi kuda besinya. Alex memperhatikan kakaknya yang
menghampiri Amanda di luar garasi sana. Amanda sempat mengobrol sebentar dengan
Marc kemudian dia naik ke motor Marc. Rasanya dada Alex sesak melihat itu.
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar