Sabtu, 26 April 2014

Just The Way You Are #7 (Fanfiction)



  Meet Mrs. Marquez



“Dengar sayang, ayahmu memang lebih tau tentang Marc. Dia lebih lama tinggal di Barcelona sementara kau baru saja beberapa bulan.” 

“Tapi apakah Ayah tau apa yang Amanda butuhkan?” 

“Sayang turuti saja apa yang dikatakan oleh Ayahmu. Toh itu untuk kebaikanmu juga.”

Klik..

Amanda memutuskan percakapannya. Ternyata berbicara dengan Mamahnya sama sekali tidak membantu, malah mempersulit keadaannya. Kemudian ponselnya berbunyi kembali. Nomernya tidak dikenali tetapi kode nomernya bukan dari Indonesia. 

“Holla?,” ujarnya menempelkan ponsel ke telinganya. 

“Hay Amanda, ini aku Marc.”

Marc….. nama itu seperti matahari bagi Amanda. 
 
“Hay Marc, ada apa?.” Tanya Amanda dengan suara parau. 

Gadis itu masih menangis. Tapi kali ini tangisannya bukan tentang kesakitannya tetapi tentang kebahagiannya. Dia sangat senang Marc menelepon dirinya di saat perasaannya sedang buruk.

“Kau kenapa?” 

Amanda cepat-cepat menghapus air matanya seolah-olah Marc tidak senang melihat Amanda menangis. 

“T..tidak Marc, aku baik-baik saja,” 

“oh syukurlah.”
 
 Amanda tersenyum, dia senang mendengar Marc bertanya tentang dirinya. 

“Ada apa Marc?” tanya Amanda lagi. 

“Well, apakah besok kau tidak ada acara?” 

Amanda melirik lukisannya yang ditutupi oleh kain putih. Lukisan itu masih 85% pengerjaannya, tak apalah jika besok dia libur dulu melukis, dia akan membayarnya dengan mengerjakan lembur.

“Kau sibuk melukis ya?,” tebak Marc. 

“T..tidak kok,”

“Okey kalau begitu besok aku jemput jam 10, okey?, temani aku latihan dengan Alex dan Rabat. Bagaimana?,” Sebuah senyumanpun merekah di wajah cantik Amanda. “Baiklah.”

                                                                        *****
Pagi sekali Amanda sudah bangun. Gadis itu mencuci wajahnya dan mulai mengerjakan lukisan yang pengerjaannya baru 85%. Sebelum melukis dia melihat kalender yang berada di ponselnya tersebut. Tinggal seminggu lagi hari yang ditunggu-tunggu olehnya. Bisalah Amanda menyelesaikan lukisannya sebelum hari istimewa itu.

Kring…

Ponsel gadis itu berbunyi. Dia beranjak dari duduknya dan melihat jam beker didekat tempat tidurnya. Ternyata sekarang sudah jam 7 pagi. Amanda keasyikan melukis sehingga ia lupa waktu.

“Halo,” ujarnya menempelkan ponsel ke telinganya.

“Amanda ini aku Marc. kau sudah siap? Aku jemput ya?”

Amanda mengerutkan keningnya. Bukannya jam 10 Marc akan menjemputnya.

“Bukannya jam 10 kau akan menjemputku?”

Orang yang diseberang sana menggaruk-garuk kepalanya.

“Mommyku ingin bertemu denganmu.”

Deg…. Hati Amanda bergetar. Untuk apa Mommy Marc ingin bertemu dengan dirinya.

“Mommy mu? M….memangnya ada apa?” tanya Amanda gugup.

“Aku juga tidak tau. Katanya ada urusan denganmu. Aku jemput ya sekarang?”

Lantas gadis itu bergegas melihat pantulan dirinya di cermin riasnya. So mess tampilannya kali ini. Rambutnya acak-acakan dan yang paling parah ada sesuatu disudut matanya. Sepertinya Amanda tidak bersih mencuci mukanya tadi.

Gadis itu melihat bekernya kembali. Dia memperkirakan berapa menit dia akan mandi.

“Amanda, kau masih disitu?”

“Eum… Marc-“

“Aku tau kamu belum mandi kan?”

Amanda melongo mendengar apa yang dikatakan Marc. pipi gadis itu merah. Dia malu di tanya seperti itu oleh orang yang disukainya.

Lelaki yang disebarang sanapun tertawa.

“Aku benarkan? Kau jangan salah, aku ini mantan peramal loh.”

Amanda berdecak. “Yasudah aku mandi dulu ya.”

Marc masih tertawa. “Pantesan disini kok baunya aneh ya. Seperti bau seseorang yang belum mandi setahun.”

“Berisik Marcquez!!!”

                                                                        *****
Walaupun lelaki itu sudah selesai mengobrol dengan Amanda lewat telepon, lelaki itu masih terus tertawa. Roser, melihat salah satu putranya yang tertawa sendiri di ruang TV pun menghampirinya.

“Kau ini kenapa Marc tertawa sendiri? Kau seperti orang gila.”

Marc menghapus air matanya. “Ini mom Amanda lucu sekali,” ujarnya.

Roser tersenyum. “Bagaimana? Pacarmu itu akan datang kesini?”

Marc terkejut dengan perkataan Mommy nya. “Amanda bukan pacarku Mom.”

“Yasudah lupakan. Dia jadi kesini kan?” Marc mengangguk. 

                                                                        *****
Alex menguping pembicaraan Mom nya dan kakaknya di tangga. Rasanya tidak ada seseorang yang berpihak ataupun mendukungnya untuk menyukai Amanda. Momnya sudah ada di pihak kakaknya, Dad nya? Alex menghela napas. Dad nya mana mungkin memihak salah satu anaknya. Tuhan? Entah lah apa Tuhan memihak pada dirinya atau pada kakaknya.

Setelah Marc pergi ke bagasi, lelaki jangkung itupun menemui Mom nya yang sedang masak di dapur. 

“Mom,” ujar Alex yang duduk di salah satu kursi meja makan.

Tanpa berbalik Roser berbicara. “Kau sudah mandi belum Alex?”

“Sudah. Eum… Amanda mau datang ke sini?”

Roser berbalik dan menatap putra bungsunya. “Iya. Aku ada keperluan dengannya.”

“Kenapa tidak ke rumahnya saja?”

Yang ditanya malah bertanya balik. “Memangnya kenapa kalau aku mengundangnya kesini?”

Alex mengangkat bahunya. “Tidak kenapa-kenapa sih.”

Mom nya tersenyum dan duduk di dekat Alex. wanita itu ingin lebih mengenal Amanda lewat putra bungsunya tersebut.

“Well, Amanda itu seorang pelukis ya?”

Alex menganguk dan mengambik Apel yang tersaji di tengah-tengan meja makan.

“Amanda itu anaknya Gerardo dan memiliki darah Asia tepatnya Indonesia. Saat di Indonesia lukisan Amanda pernah di ikut sertakan dalam perlombaan dan tak jarang lukisannya menang,” ujarnya sebari mengunyah.

“Apa Marc tau tentang itu?”

“Mana aku tau.”

“Lantas kau tau dari siapa?”

Alex terdian dan memandang Mom nya dengan curiga.

“Aku diberi tau oleh mbah google."
                                                                        *****
Gadis itu mematut dirinya di cermin rias. Dia memoleskan merah pipi dan lip gloss pada bibir mungilnya. Selama di Barcelona dia baru kali ini dandan seperti itu. Biasanya dia hanya menggunakan bedak saja, rambutnya pun dia sisir sewajarnya. Tapi kali ini dia tata. Menggunakan alat kriting rambutnya yang tak pernah dipakai, gadisi itu mengkeriting gantung rambutnya ya walaupun dia tidak tau apakah keriting gantung cocok untuknya atau tidak.

Bel rumah Amanda berbunyi. Gadisi itu cepat-cepat menyelesaikan dandannya dan menuju pintu. Dia membukakan pintu yang disambut oleh sang pemencet belnya dengan ekspresi terpesona. Amanda yang melihat tingkah laku Marc pun menjadi malu.

“Aku baru kali ini melihat kau berdandan,” ujar Marc.

Amanda hanya tersenyum dan mempersilahkan Marc masuk. 

“Kau mau minum apa?”

Marc mengkerutkan keningnya dan menatap Amanda yang pergi ke dapur. “Aku tidak akan lama, aku kan akan menjemputmu,” ujar Marc. 

“Oiya aku lupa,” teriak Amanda. “Maaf Marc.”

Marc terkekeh dan iseng melihat ornament-oranament rumah Amanda. Lelaki itu takjub dengan lukisan Amanda yang di pajang di ruang TV. Lukisan itu menggambarkan seorang penari yang memakai baju tidak dikenalinya yang memasang tampang menyeramkan. Jika Marc menjadi Amanda, lelaki itu tidak akan memasang lukisan yang menyeramkan itu diruang TV. Bagaimana jika dia sedang menonton film horror dan tiba-tiba saja lukisan itu bergerak? Menyeramkan! Marc begidig memikirkannya.

Lelaki itu kembali lagi ke ruang tamu tetapi langkahnya sempat terhenti saat melihat sebuah ruangan –mungkin kamar Amanda- yang terdapat sebuah lukisan. Lukisan itu ditutup oleh kain putih. Marc penasaran dengan lukisan tersebut. Tanpa pikir panjang lelaki itu masuk ke ruangan tesebut.

“Kau tidak boleh masuk kesitu! Itu kamarku Marc,” teriak Amanda cepat-cepat menutup pintu kamarnya.

“Aku hanya ingin melihat lukisan itu.”

“Nanti saja kalau sudah berses.”

Lelaki itu mengangguk. Dan keduanyapun berjalan keluar rumah.

“Memangnya itu lukisan apa?”

Amanda menatap Marc dan tersenyum. “Kau penasaran ya?”

“Aku hanya ingin tau saja.”

Amanda tertawa. “Seharusnya kau tau apa yang ada di balik tirai tersebut. Kau kan peramal.”

“Aku kan mantan peramal, Amanda.” Dan keduanyapun tertawa.

Amanda celingak celinguk mencari sebuah mobil. Gadis itu tidak menyadari bahwa Marc tidak membawa mobil untuk menjemputnya. Dan tangan kekar Marc menggemgam tangan Amanda dan membawanya pada motor CB150R.

“Karena ini masih pagi jadi aku berniat menjemputmu menggunakan motor supaya aku bisa menghirup udara pagi,” ujar Marc menjelaskan. Lalu, lelaki itupun naik pada kuda besinya. Amanda bengong melihat Marc yang membawa motornya.
 
“Walaupun aku seorang pembalap, aku tidak akan ngebut-ngebut kok kalau membawa penumpang,” ujar Marc.

“Masalahnya bukan itu Marc. Aku kan tidak menggunakan celana,” Amanda memerhatikan dress selututnya. 

“Yasudah kau duduk miring saja.”

Amanda mengkerucutkan bibirnya dan melakukan perintah Marc. Sebenarnya dia takut kalau naik motor posisinya seperti itu. Gadis itu takut tidak bisa menjaga keseimbangannya jika tiba-tiba saja motor yang ditumpanginya berbelok atau berhenti mendadak.

“Jangan ngebut ya Marc,” pinta Amanda kepada Marc yang sudah menjalankan kuda besinya.

Marc mengangguk. “Tapi tidak pelan-pelan juga kali Marc,” Marcpun terkekeh.

                                                                        *****
Roser sudah menyiapkan sarapan untuk tamu nya. Dia juga sudah menata rumah sedemikian rapihnya. Wanita itu tampak senang mengundang Amanda dan tampak excited menunggu kedatangan anak Indo tersebut.

“Alex sebaiknya kau turun dari kamarmu itu. Tidak baik diam terus di kamarmu sementara ada tamu yang akan datang,” teriak Roser.

Alex yang dari tadi berdiam diri di kamarnya turun dari “goa” nya. Lelaki itu memakai kaos biru dan setelan jeans.

“Ayo kita sarapan bersama dengan Amanda,” ujar Roser.

Alex mengangguk dan diapun menonton TV menunggu kedatangan Amanda. Dia memang sangat senang kalau Amanda akan berkunjung ke rumahnya, tapi dia juga agak tidak senang bahwa yang menjemputnya itu kakaknya. Kenapa coba tidak dirinya saja? Juga, dia kalah memperkenalkan orang yang disukai nya kepada Mom nya.

20 menit berlalu. Marc dan Amanda sudah sampai di kediaman Marquez. Setelah turun dari motor, gadis itu tidak langsung mengekor Marc, dia malah mengaca di kaca spion untuk memastikan bahwa tampilannya baik-baik saja.

“Kau sedang apa? Ayo,” ajak Marc.

Amandapun berlari kecil menuju Marc.

Di depan pintu sana sudah ada Roser dan Alex menyambut kedatangan Amanda. Amanda tampak gugup di perlakukan seperti ini. Ini adalah pertama kalinya bagi Amanda bertemu dengan Ibu dari orang yang disukainya dan di undang ke rumahnya pula. Rasanya dia ingin menyanyikan lagu The Best Day Ever yang ada di film Spongebob. Kalau begini caranya, dia jadi betah tinggal di Spanyol.

“Halo sayang, kau tampak sangat cantik sekali,” puji Roser sebari memeluk Amanda.

“Terimakasih Mrs. Marquez,” ujar Amanda. 

“Hai Alex bagaimana kabarmu?” tanya Amanda pada lelaki yang berdiri di sebelah Roser.

“Seperti biasa Amanda, menyedihkan,” celetuk Marc terkekeh.

“Marc!” pelotot Roser.

Marc berdecak. “Okey. Aku hanya bercanda.”

                                                                        *****
Lelaki itu tersenyum saat melihat seorang gadis menghampiri dirinya dan Mom nya. Dia membayangkan jika dirinya saat ini sedang berada di altar. Tapi seseorang menjatuhkannya dari atas langit. Dia adalah kakaknya.

Marc tampak sangat berisik sekali saat menyuruh Amanda mengikutinya. Gadis itu juga tidak mengeluh ataupun apa. Mungkin hanya ada kesenangan di dirinya sekarang, tidak peduli Marc begitu berisiknya.

Alex berpikir, kenapa dia harus menyukai seorang gadis yang malah menyukai kakaknya. Bagiamana kalau kakak nya juga menyukai gadis itu? tapi kalau tidak, apakah dirinya bisa meyakinkan Amanda bahwa dia lebih baik daripada Marc?.

Hati lelaki itu berdegup sangat kencang saat Amanda sudah berada di hadapannya. Gadis itu menanyakan kabar dirinya. Alex tersenyum. Tetapi sebuah celetukan Marc membuat senyum di wajahnya memudar.

Saat Mom nya dan Amanda sudah masuk kedalam. Alexpun mengucapkan ke kesalannya itu kepada kakaknya.

“Kau ini Marc berkata seenaknya saja,” ujarnya.

Marc terkekeh dan merangkul adiknya tersebut.

“Aku hanya bercanda Bro, jangan di ambil hati ya.”

Alex menghela napas. Sekesal-kesalnya dia pada kakaknya, Alex tidak bisa marah kepadanya. Hanya ucapan itulah yang keluar dari mulutnya. Bukannya dia takut pada kakaknya, tapi dia menyayanginya dan juga menyeganinya.

                                                                        *****
Setelah mereka sarapan bersama, Roser mengajak Amanda mengobrol di halaman belakang rumahnya. Sementara ke dua putranya disuruh untuk membereskan meja makan.

Amanda sangat cepat akrab dengan Roser. Dan Roser merasa kalau Amanda ini adalah gadis terbaik dari sekian gadis yang dibawa oleh Marc. Roser berharap bahwa gadis ini nantinya akan mendampingi Marc kelak.

“Well, kau ini seorang pelukis kan?”

Amanda menganngguk. “Dan juga fotografi,” tambahnya.

Roser maanggut-manggut. “Dari mana kau belajar seni melukis dan fotografi, sayang?”

“Ibu ku yang mengajarinya. Dia seorang pelukis juga.”

“Wah berarti Ibumu mewariskan ke ahliannya kepadamu. Eum kau ini anak tunggal ya?”

Amanda mengangguk, “iya aku anak tunggal.”

“Kenapa tidak dari dulu kau tinggal di Spanyol? Ayah mu kan orang Spanyol.”

“Dulu sewaktu Ayah dan Ibuku bersama-“

Roser tampak tak enak bertanya seperti  itu. Dia baru mengetahui kalau orangtua Amanda sudah tidak bersama.

“Kami tinggal di Indonesia, lebih tepatnya di Bandung. Ayah sering bolak-balik ke Barcelona untuk mengurus pekerjaannya. Beliau juga sempat mengajak kami tinggal di Barcelona, tapi Ibu ku menolaknya karena orangtua Ibu ku sudah tua dan tidak ada yang mengurusnya. Ayah ku juga menyuruh untuk membawa orangtua Ibu ku tinggal di Barcelona tapi Ibu ku enggan. Entahlah kenapa.”

“Oiya Amanda maksudku menyuruh Marc untuk mempertemukan aku denganmu adalah aku ingin meminta bantuan mu,” ujar Roser mengalihkan pembicaraan.

Amanda menyeruput teh nya dan bertanya, “bantuan apa  Mrs. Marquez? Semoga aku bisa membantu.”

Ah anak ini memang baik dan sopan, pikir Roser.

“Aku ingin kau melukiskan keluargaku. Bagaimana? Bisa? Kau lukis dari gambar poto keluarga ku, nanti akan ku beri kau potonya.”

Amanda menimbang-nimbang, “okey bisa,” ujarnya memutuskan.

“Ternyata kau ada di sini Amanda,” ujar Marc. 

“Mom aku pinjam Amanda sebentar ya,” ujar Marc dan mengisyaratkan Amanda untuk mengikutinya.

“Ayo kita pergi,” ujar Marc memakai jaketnya.

“Kemana?”

“Masa kau lupa.” Amanda melihat jam dan dia baru menyadari alasan Marc menjemputnya, tentunya selain bertemu dengan Mrs. Marquez.

“Marc aku tidak membawa kameraku.”

Marc menghela napas. Sepertinya Marc sedang kesal, terlihat dari ekspresi Marc. Amanda menunduk, dia tidak ingin membuat orang yang disukainya marah. Lelaki itu tidak berkata apa-apa. Dia menuju ke garasi dan Amanda mengikutinya.

Di garasi sudah ada Alex yang sedang memanaskan mobil. Marc lantas memakai helmnya dan berkata pada Alex bahwa dia dan Amanda akan menyusulnya.

“Memang ada apa Marc?” tanya Alex keluar dari mobil.

“Aku mengantar Amanda untuk membawa kameranya.”

“Biar aku saja yang mengantarnya,” pinta Alex sekalian modus.
 
Marc menggeleng. “Tak apa aku saja. Kau pergi duluan saja.” 

Dan lelaki itu menunggangi kuda besinya. Alex memperhatikan kakaknya yang menghampiri Amanda di luar garasi sana. Amanda sempat mengobrol sebentar dengan Marc kemudian dia naik ke motor Marc. Rasanya dada Alex sesak melihat itu.

bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar