Like a Thunder Gonna Shake My Heart
Kedua kakak beradik itu kini sedang berada
di kantinnya Maria, mereka berdua berbincang-bincang tentang masalah balapan
dan pembicaraan tentang masalah balapan itu harus selesai lantaran Marc
mengganti topic pembicaraan. “Aku baru tau kalau Amanda itu anaknya Gerardo,”
Alex mengangkat bahu, “iya aku juga baru tau,” dusta Alex. Maria yang mendengar
nama anak majikannya itu di perbincangkan langsung mempertajam pendengarannya.
Menurutnya ini adalah sesuatu yang langka, belum pernah ada pengunjung yang
membicarakan Amanda apalagi yang membicarakannya ini adalah dua orang lelaki
tampan nan rupawan.
“Amanda itu memang memiliki banyak kejutan.
Contohnya saja aku tak mengira kalau dia bisa melukis dan sekarang aku
dikejutkan bahwa Amanda adalah anaknya Gerardo,” Alex mengangkat bahu malas
untuk membahasnya. Sambil menerawang, Marc bercerita tentang Amanda, “aku
memang pernah mendengar putri semata wayang dari Garcia Group. Katanya dia
adalah gadis yang cantik serta pemalu, tapi taukah kau Alex?,” “apa?.” Sambil
masih menerawang Marc tersenyum, “ternyata mereka benar dan juga salah tentang
Amanda. Salah karena Amanda bukan orang pemalu, tapi benar karena Amanda sangat
cantik.” Alex mengangkat halisnya. Marc menghela napas dan meneguk kopinya
hingga habis. “Amanda memang cantik kan?,” tanya Marc pada Alex. Alex
mengangguk dan sebuah senyum simpulpun menghiasi wajahnya.
“Menurutmu dia pantas tidak denganku?.” Deg… tubuh Alex menegang mendengar
perkataan kakaknya. Walaupun itu candaan tapi Alex menganggapnya serius.
“Pantas tidak kalau aku jadi pacarnya Amanda?,” “tidak pantas,” ujar Alex
spontan. Marc mengernyitkan keningnya, “kenapa?,” “ya..ya Amanda kan dia anak
yang baik masa dia harus berpacaran dengan playboy sepertimu.” Marc terkekeh.
Seseorang disana yang sedang mengupingpun
ikut terkekeh. Maria ingin sekali mengatakan ini kepada Amanda besok, itupun
jika Amanda datang ke sini.
“Jadi Amanda harus berpacaran dengan lelaki
yang baik, begitu?,” “yaa begitulah,” “ah itu sih kemauanmu saja Alex. Bilang
saja kalau Amanda itu cocoknya dengan kau, iyakan?,” canda Marc dan hati
Alexpun berdegup kencang.
***
Hari ini Amanda sangat senang bisa
berjalan-jalan dengan ayahnya setelah sekian lama dia tidak bertemu dengan
beliau. Ayah dan anak itu pergi ke museum Picaso lalu berjalan-jalan di La
Rambla untuk melihat sekumpulan penari yang menarikan tarian Flamenco. Semua
pengunjungpun dibuat terpukai dengan tarian tersebut. Amandapun bertepuk tangan
dan memotret momen yang sangat membahagiakan ini dengan kamera ponselnya.
Setelah mereka selesai menyaksikan tarian
Flamenco. Gerardo mengajak putri semata wayangnya itu makan di restoran yang
tak jauh dari La Rambla. Amanda sempat bingung memilih menu yang di sajikan
oleh restoran tersebut. Dia baru kali ini makan dengan pilihan menu yang sangat
mewah. Setelah Amanda memutuskan memesan pesanan yang sama dengan ayahnya,
gadis itupun berceloteh tentang kuliah nya di Indonesia.
Gerado menyimak dengan antusias apa yang
dikatakan oleh Amanda. Dia sangat senang putrinya sudah lulus kuliah dan
memutuskan untuk tinggal di Barcelona, walaupun itu hanya sebentar. Baginya,
itu sudah cukup. Setelah ada jeda di antara mereka dan sang pramusaji belum
mengantarkan pesanan, Gerardo jadi teringat akan ke khawatirannya tentang Marc.
Lelaki paruh baya itu menopang dagunya dan
menatap Amanda dengan serius. “Kau menyukai Marc?,” tanya Gerardo tiba-tiba.
Amanda mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan ayahnya, “kenapa ayah
bertanya seperti itu?,” “aku hanya bertanya.” “Ya tapi kenapa harus bertanya
itu?,” Gerardo tersenyum dan mengelus ubun-ubun Amanda. “Kenapa aku bertanya
seperti itu?, karena ayah merasakan kalau kau menyukai lelaki tersebut. Saat
kau memperkenalkan lelaki tersebut, saat kau menatapnya dan saat kau
menyebutkan namanya ada sesuatu yang beda dengan dirimu. Kau menyukainya kan?,
apa aku benar?.” Amanda tersenyum dan rasa panaspun menjalar di pipinya. “Iya
ayah benar, aku menyukai Marc,” ujarnya malu-malu. Gerardo sudah menduga bahwa
putrinya memiliki perasaan pada Marc. Marc memang mempunyai pesona yang mudah
memikat kaum hawa.
Lelaki itu menyenderkan punggungnya dan
menghela napas. Melihat respon yang tidak diharapkan oleh Amanda, Amandapun
bertanya pada ayahnya. “Ayah, ada apa?.” Gerardo menghela napas berat, “boleh
kah aku menasihatimu?,” Amanda mengernyitkan keningnya dan mengangguk. “Mulai
dari sekarang sebaiknya kau jangan terlalu dekat dengan lelaki itu, ya?.”
***
Kedua kakak beradik itu sudah sampai di
rumahnya. Marc menyerahkan titipan Momnya yang sedang berada di dapur sementara
Alex bermain PSP di ruang keluarga yang tak jauh dari dapur.
“Mom pernah mendengar gossip tentang anak
Garcia Group kan?,” tanya Marc yang menarik kursi di meja makan. “Tidak, mom
belum pernah mendengarnya.” Marc menepis angin, “mangkannya sekali-kali
menggosip dong mah,” Marc terkekeh. Roser yang sedang mencuci sayuran pun
dibuat geleng-geleng kepala mendengar omongan dari anak sulungnya tersebut.
“Memangnya kenapa dengan anak Garcia Group?,” tanya Roser berbalik menghadap
Marc. Mata Marc berbinar-binar dan dengan antusias bercerita kepada Mom nya.
“Aku baru tau kalau anaknya itu Amanda,
seorang gadis yang aku tolong di La Rambla. Aku tak menyangka saja kalau anak
Garcia Group yang selalu di perbincangkan oleh orang-orang sana adalah orang
yang aku kenal juga.” Roser membulatkan mulutnya kemudian duduk berhadapan
dengan Marc. “Lalu?, apakah ada cerita dibalik itu semua?,” Marc mengangkat
halisnya tak mengerti apa yang ditanyakan oleh Roser. “Eum maksudku, bagaimana
rupa fisik dari anak Garcia Group?.” Marc menerawang kembali.
“Nama gadis itu adalah Amanda. Dia memiliki
rambut sebahu dan memiliki senyum yang sangat manis. Dia juga baik dan lucu.
Dan yang paling aku senangi dari dia adalah dia bisa melukis.” Mom nya senang
mendengar Marc tidak bercerita tentang gadis sexy yang selalu hadir di dalam
hidupnya. “Apakah dia cantik?,” tanya Roser. “Ya jelas dong Mom. Benar tidak
Alex?,” teriak Marc. Alex mengacungkan jempolnya seraya menjawab pertanyaan
dari Marc. Roser tersenyum. “Apakah kau menyukainya?,” Marc menarik kepalanya.
“Kenapa mom bertanya seperti itu?,” “mom hanya memperingatkan kau untuk tidak
mempermainkan gadis itu. Jika kau menyukainya seriuslah dengannya, apakah kau
tidak capek diburu dengan wartawan menanyakan tentang asmara mu yang selalu
gonta-ganti pacar dan apakah kau tidak risih dengan para yang
men-capmu sebagai playboy diatas karirmu sebagai pembalap?,” ujar Roser
menasihati. Mac termenung mendengar omongan dari mom nya. “Tapi mom aku ini
masih muda, aku masih belum berniat untuk melakukan hubungan serius,” “jika
tidak ingin serius janganlah bermain-main.” Marc menghela napas. “Mau sampai
kapan kau mengoleksi mantan?, sampai mantanmu itu berjumlah seperti umurmu
sekarang?.” Marc tertawa. Roserpun bangkit berjalan ke arah Marc lalu
mengacak-ngacak rambut anak sulungnya tersebut. “Jangan permainkan hati seorang
wanita Marc. Apakah kau tidak sempat pikir jika Mommy mu yang diperlakukan
seperti itu?, apa yang akan kau lakukan?, pasti kau marahkan?. Nah, jangan kau
turuti nafsumu yang gemar mengoleksi mantan Marc,” ujar Roser meninggalkan Marc
yang termenung di dapur.
***
Sungguh, kata-kata yang dilontarkan ayahnya
seperti petir yang menyambar dirinya. “K..kenapa aku tidak boleh dekat-dekat
dengan Marc yah?, kenapa aku tidak boleh menyukainya?,” tanya Amanda dengan
suara parau. Gerardo menghela napas berat dan menegakan kembali posisi duduknya.
“Aku hanya tidak ingin kau sakit hati saja Amanda,” Amanda geleng-geleng kepala
tak mengerti. Kenapa ayahnya mendadak mencampuri masalah percintaannya?.
“Bagaimana aku bisa menjamin aku tidak akan
sakit hati jika aku menjauhi Marc?, kenapa ayah jadi ikut campur masalah
percintaanku? Apakah ayah tidak senang aku mulai membuka hati untuk seseorang?,
bukannya dari dulu ayah ingin aku mempunyai pacar agar ada yang melindungiku?,”
ujar Amanda panjang lebar. Gerardo mengelus lengan Amanda tetapi ditepis oleh
gadis tersebut. “Bukannya aku tidak senang sayang. Hanya saja,” ucapan Gerardo
sengaja digantungkan. Amanda mengernyitkan keningnya. Dia butuh jawaban dari
semua teka-teki yang ditunjukan oleh ayahnya.
“Hanya saja apa, yah?,” “hanya
saja…orangnya jangan Marc Marquez?,” tambah Amanda. Gerardo menganggguk. Amanda
geleng-geleng kepala, “kenapa?,” tanya Amanda lirih. Bulir-bulir air mata mulai
turun dari sudut matanya.
“Kau tidak tau sifat asli Marc, Amanda!.”
Amanda bangkit dari duduknya. Sontak saja pengunjung yang ada disana
memperhatikan sebentar ke arah Amanda dan Gerardo. “Jika aku telah mengenal
sifat asli Marc, apakah rasa cintaku akan berkurang?, jawabannya tidak Ayah!.”
Dan Amandapun keluar dari restoran meninggalkan Gerardo yang geleng-geleng
kepala.
***
Amanda membanting pintu kamar tidurnya
dengan keras dan melemparkan dirinya ke kasur. Wajahnya yang cantik ia benamkan
dalam bantal. Gadis itu menangis. Dia menangis menjadi-jadi. Baru kali ini dia
benar-benar menyukai seseorang dan rasa sukanya itu ditentang oleh ayahnya.
“Tuhan, apakah aku salah menyukai Marc?,” ujarnya disela-sela tangis.
Kring…kring…
Suara ponsel berbunyi. Amanda mengambil tas
nya yang tergeletak di bawah dan merogoh isinya untuk menambil ponsel yang bordering.
Dilihatnya sebuah nomer yang berkodekan Indonesia. Gadis itu menghapus air
matanya dan menjawab panggilan tersebut.
“Hallo?,” ujar Amanda menstabilkan
suaranya. Dia tidak ingin orang yang diseberang sana mengetahui bahwa dirinya
sedang menangis. “Amanda ini Mamah,” ternyata Mamahnya Amanda, Lina. “Semuanya
baik-baik saja kan sayang?, tadi ayah mu memberitahuku bahwa kau membutuhkan
ku. Ada apa sayang?,” Amanda menggigit bibir bawahnya. Benar, dia membutuhkan
Mamahnya. Dia membutuhkan bahu untuk tempatnya memangis.
Dan seketika tangis Amanda pecah. “Amanda?,
kenapa sayang?, apakah Mamah harus ke Barcelona?,” ujar Lina dengan nada
khawatir. Amanda menggelengkan kepala, “tidak usah Mah. Hanya saja Amanda tidak
mengerti saja.” “Tidak mengerti kenapa sayang?, kau tidak lolos dalam kompetisi
melukis disana?,” “bukan Mah,” “lalu?.”
***
Lelaki itu masih terdiam di dapur.
Kata-kata Mom nya terus terngiang dalam ingatannya. “Jika tidak ingin serius
janganlah bermain-main,” ucapnya mengulangi apa yang dikatakan Roser. Lelaki
itu mengangkat bahunya dan mengambil ponselnya di saku. “Siapa yang ingin
bermain-main dengan Amanda, punya perasaan saja tidak.” Lalu lelaki itu memijit
tombol panggil ke nomer Amanda.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar