Sabtu, 19 Desember 2015

Cerpen: Tidur



Tidur

Rasa kantuk mulai melanda di saat aku menjadi penumpang bus yang menawarkan berbagai jajanan dari tukang asongan yang sedang mencari rejeki. Kala itu jam sudah menunjukan pukul 5 sore dan rasa sakit yang didapat sekitar tiga jam lalu masih terasa. Ku usap pipi yang menjadi sasaran empuk bogemnya, masih hangat dan terasa nyeri. Ku kerahkan lidah untuk mencari gigi yang somplak dan ternyata memang ada gigi yang somplak. Aku menghela napas berat dan air mata pun merembes keluar. Saat ini aku benci pada diriku, bagaimana bisa seorang pembangkang seperti ku bisa menangis dalam kerumunan orang-orang?
                                                                        *****

Tidur ku sangat cukup, bahkan lebih dari cukup. Setelah sampai di kosan aku langsung merebahkan diri dan juga mengingat kejadian itu. Energi benci, marah dan takut membuat aku teridur dengan mata yang dibanjiri tangis. Saking sibuknya aku menangisi kejadian kemarin aku jadi lupa untuk mengerjakan tugas yang ada di modul. 

Aku duduk di kelas dengan perasaan nyeri di pipi karena semilir angin seperti meniupkan jarum-jarum pada pipiku, perasaan ingin tertawa tapi ku urungkan keinginan ku karena pada saat itu tertawa menimbulkan rasa nyeri pada pipi ku. Hal yang paling menyebalkan dari itu semua adalah aku tidak bisa meminum es atau meggigit makanan karena gigi ku masih dalam tahap linu.

Tapi, sebagai mahasiswa yang tidak mengerjakan tugas, perasaan deg-degan mengalahkan rasa sakit itu semua saat dosen memasuki ruangan yang di jaga oleh empat dinding putih. Untungnya dewi fortuna sedang kasihan kepadaku. Tugas yang aku tidak kerjakan itu tidak dibahas oleh beliau.

Dengan luka yang merah pada pipi kanan ku serta warna hijau yang berada di kelopak mata ku ini membuat orang-orang bertanya tentang caraku mendapatkan itu semua. Ada yang mengira aku salah memakai bedak sehingga menimbulkan bercak merah titik-titik dan ada juga yang dengan gamblangnya menyeruakan pendapatnya bahwa aku terkena bogem.

Aku tidak pernah mendapat luka seperti ini. Bahkan ketika hari berlalu digantikan dengan hari baru, luka itu masih tetap ada. Kali ini warnanya lebih jelas, dengan luka ku ini orang akan berkata bahwa luka ku ini menjadi getih wuwungan

Ah, kapan luka ini akan hilang? Tapi, walaupun luka yang ada di pipiku hilang tetap saja gigiku somplak. Jika aku nyengir di depan kaca atau sedang bersolek aku akan teringat dengan kejadian itu. Semakin aku memgingatnya semakin pula aku takut untuk bertemu dengan orang itu. Aku ingin menghindarinya, kalau bisa aku tidak ingin bertemu selama-selama nya dengan dirinya. Menangis juga tidak ada gunanya, bahkan tangis itu berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Dan tidak pernah terpikirkan oleh ku untuk pulang ke tempat yang katanya damai itu. Enggan? Iya. Takut? Takut sekali.

Ingin rasanya aku mengalami amnesia saat aku terbangun, tapi apa gunanya amnesia jika selalu ada kata sembuh yang mendampingi kata sakit? Tangis sebelum tidur juga sudah tidak ada gunanya. Walaupun memangis, tangis itu berubah menjadi tangisan kemarahan. Ah… aku benar-benar bisa gila jika terus hidup dengan kenangan bogem yang mengikuti di belakang. Salah satunya jalan agar aku tidak gila adalah dengan tertidur. Hanya tertidur atau tidur selamanya.


Sindi, Bandung19 Desember 2015 6.26 pm
Terimakasih kepada lagu Greyson Chance, Sunshine & City Light yang sudah menemani

FIN

well, ini jadi postingan comeback nya (?) aku hehe.. yaa walaupun eksekusi endingnya kurang baik tapi aku harap kalian suka.
Lavv buat semua readers yang udah suka baca di blog aku. Muah!!

Selasa, 07 Juli 2015

Just The Way You Are #12 (fanfiction)

Hallooo..... maafkan aku baru ngepost lagi. maafin banget udah ngecewain kalian dan bikin kalian nunggu-nunggu kelanjutan fanfiction ini, pedahal saya tau nunggu itu adalah pekerjaan yang membosankan :( *emang ada yang nungguin gitu?* bukan karena apa-apa, karena jadwal kuliah saya yang padet jadinya sulit buat nge posting. tapi, tenang kok saya bakal namatin semua fanfiction yang saya buat walaupun tidak dalam waktu dekat karena saya berprnsip kalau cerita itu harus punya akhir dan enggak boleh ngegantung, kasian kan para tokohnya :(.

hmmm... udah satu tahun lamanya ya saya jadi penulis fanfiction dan blogger hehee.. 
.
.
.

We like Salvatore Brothers

Alex baru saja membuka pintu rumahnya saat suara seorang pria memanggilnya dari arah ruang tamu.

“Dari mana saja kau?” ujar Marc sembari melipat Koran dan menaruhnya di atas meja.

Alex tak menjawab pertanyaan dari kakaknya. Dia malah nyelonong saja dan merebahkan dirinya di sofa yang berada di depan TV.

Marc geram, merasa tak dihargai oleh adiknya. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri adiknya. 

“Dari mana saja kau?” tanya Marc sekali, kali ini dengan nada di naikan.

“Bukan urusanmu.”

Marc menarik lengan Alex sehingga adiknya itu berdiri.

“Kau bilang bukan urusanmu, huh? Kau baru pulang pagi ini, kemana saja kau semalam?”

Alex menatap Marc dengan tatapan marah. Dia melepaskan cengkraman Marc dengan kasar dan mendorong dada kakaknya.

“Kau brengsek, Marc!”

Marc kaget dengan perilaku adiknya tersebut. Dia tak menyangka bahwa adiknya itu akan mendorong dirinya.

“Kapan kau akan dewasa, huh? Umurmu saja yang sudah besar tapi, perilakumu masih seperti anak kecil khusunya pada seorang perempuan.”

Marc menolak pinggangnya dan berdecak. “Tau apa kau tentang perempuan? Dasar anak kecil!”

“Aku memang masih anak kecil, Marc. Tapi, aku tau kalau perempuan itu tidak sama dengan boneka yang bisa dimainkan sesuka hatimu.”

Marc tertawa mengejek. “Mereka jelas berbeda, Alex.” 
 
“Lalu, kenapa kau mempermainkan hati mereka? Terutama dengan Amanda.”

Bayang-bayang Amanda muncul ketika Alex mengucapkan nama gadis itu. Apalagi ketika dirinya tengah mencium Laia, ada sedikit rasa bersalah menjalar pada dirinya.

“Kenapa kau terus membuat Amanda menangis, Marc? Memang apa salah dia?”

Marc tertawa sumbang. “Memangnya kenapa? Kau melarangku? Memangnya kau siapanya Amanda? Pacarnya? Ups, bukan kan?”

Tangan Alex mengepal mendengar perkataan Marc. “Kau brengsek Marc!!!!” ujar Alex sembari mendorong dada kakaknya sekuat tenaga.
 
Prang….

Marc terjatuh dan menghantam guci yang berada dibelakangnya. Ia melihat telapak lengannya berdarah dan menatap Alex dengan perasaan benci. “Sialan kau Alex!” Marc pun bangkit dan menghantam Alex sehingga mereka bergulat di lantai.
 
                                                                        *****
Roser buru-buru meninggalkan dapur saat dirinya mendengar suara benda pecah dari arah ruang TV. Setelah sampai di ruang TV ia kaget dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Kedua anaknya itu sedang melayangkan tinju kepada satu sama lain.

“Hentikan! Kalian ini apa-apaan?” ujar Roser.

“Dasar bajingan kau Marc!”

“Aku tak akan memaafkanmu Alex! Kau telah membuat lenganku berdarah.”
Bug…

Marc meninju pipi Alex. Adiknya itu mengerang kesakitan. Tapi, Marc tidak memberinya ampun, dia menarik kerah baju Alex dan memaksanya untuk berdiri. Marc sedang kalap. Dia meninju perut Alex sampai dengan adiknya itu muntah darah.

“Marc! Hentikan! Sadarlah, itu adikmu!” ujar Roser mengingatkan Marc.

Marc diam sebentar dan melihat ke arah Roser. Karena merasa diberi kesempatan, Alex pun mendorong tubuh Marc sehingga terjatuh. Dan kali ini Alex yang memukul Marc habis-habisan.

Roser memegang keningnya. Merasa tak mampu memisahkan kedua anakanya tersebut, ia pun berlari ke lantai dua untuk memanggil Julia.

                                                                        *****
Beberapa hari lagi pemberangkatannya ke Indonesia, Amanda ingin cepat-cepat sampai dimana dirinya itu meninggalkan Spanyol. Semenjak kejadian tadi malam, Amanda menjadi gadis yang pendiam. Walaupun Alex mengantarnya sampai rumah bahkan menginap di rumahnya dan menghibur dirinya tapi, tetap saja bayang-bayang Marc mencium wanita itu terus berselewengan dalam ingatannya. Saat ditanya oleh Maria pun, Amanda hanya menjawab seperlunya. Bahkan Amanda tidak mendengarkan nasihat dari Gerardo yang datang subuh tadi.

“Amanda,” panggil Maria menghampiri Amanda yang berdiri di teras balkon. “Kau harus makan, sayang,” bujuk Maria.

Amanda diam membeku. Tatapan matanya kosong dan kepalanya dimiringkan ke arah kanan. Gadis itu rapuh. 

“Ayolah sayang, sudah kubuat makanan kesukaanmu.”

Tak ada respon. Maria menghela napas dan mengusap-ngusap bahu Amanda.

“Aku tak tau apa salahku kepadanya,” ujar Amanda dengan nada parau dan air mata pun bercucuran. Benteng pertahannya telah runtuh. Gadis itu tak kuasa menahan tangisnya.

“Sudahlah… dia memang brengsek.”

Amanda menghela napas dan menatap Maria. “Jika dia lelaki brengsek, kenapa aku tetap menyukainya Maria?”

“Karena cinta itu buta, sayang. Kau akan tetap mencintainya walau pun dia telah menyakitimu. Itulah yang di namakan cinta. Indah bila dibayangkan namun, sakit bila kenyataan.”

Amanda memejamkan matanya. Niat dia datang ke sini adalah untuk berlibur, untuk mencari inspirasi untuk lukisannya bukan untuk sakit hati.

“Ayo, sayang. Sekarang kita makan, ya?” bujuk Maria sekali lagi.

Amanda menggeleng dan melepaskan lengan Maria di pundaknya. “Tinggalkan aku sendiri, Maria.”

                                                                        *****
“Bagus bagus,” ucap Julia menatap putranya yang babak belur. “Jadi, sekarang kalian akan pindah profesi menjadi petinju, begitu?”

Marc dan Alex diam saja. 

“Jawab!!!” sentak Julia.

Roser menghela napas berat. Wanita itu menggelengkan kepalanya tak menyangka kedua putranya akan berbuat seperti itu.

“Alex yang mulai duluan,” adu Marc.

Alex menatap Marc dan membulatkan matanya.

“Kenapa Alex bisa mulai duluan?” tanya Julia.

“Dia…. Dia mabuk,” ucap Marc asal.

Sontak saja Alex bangkit dari duduknya.

“Kau,” tunjuk Alex pada Marc. “Benar benar brengsek sejati, Marc!!!”

“Memang benarkan kau mabuk? Memang apalagi kalau jam segini baru pulang kalau bukan mabuk?”

“Dasar brengsek!” Alex menarik kerah baju Marc dan melayangkan tinjunya.

Roser berteriak histeris sementara Julia geleng-geleng kepala. “kalian berdua hentikan!!!” perintah Julia. Pria itu pun berdiri dan mengisyaratkan kepada putranya untuk mengikutinya. Julia membuka pintu halaman belakang dan menarik kedua putranya ke tengah-tengah halaman belakang.

“Aku tidak tau kenapa kalian bertengkar, atau memang benar Alex mabuk dan menyerang Marc?”

Alex mengkerutkan keningnya, “aku tidak mabuk!”

Julia manggut-manggut. “Yasudah, sekarang jika kalian masih ingin bertengkar aku beri arena untuk kalian. Silahkan bertengkar sesuka hati kalian, kami tidak melarang. Jika, sudah ada yang menang beri tau kami,” ujar Julia berlalu.

                                                                        *****
Marc membuang muka saat dilihatnya Alex sedang membersihkan darah di sudut bibirnya menggunakan kaosnya. Baru kali ini dia meninju adik nya sendiri dan baru kali ini juga dia merasakan tinju dari adiknya.

“Aku tidak mabuk,” ucap Alex membuka suara. Lelaki jangkung itu menghampiri Marc dan menatapnya dengan tatapan benci.

“Aku menginap di apartemen Amanda semalam,” lanjut Alex.

Marc mengkerutkan keningnya. “Menginap?” tanyanya.

Alex mengangguk. “Dia sangat rapuh. Dan kenapa dia rapuh? Itu karena ulahmu Marc! kau sudah tau kan bahwa Amanda itu menyukaimu? Tapi, kenapa kau tidak sedikit saja menghargai perasaannya?”

Marc mengangkat bahunya. “Aku tidak tau kalau Amanda akan melihat kejadian itu.”

“Kejadian apa?”

“Memangnya Amanda tidak memberitaumu?”

Alex tertawa sumbang, “jangankan dia memberitau apa yang kau lakukan sampai ke apartemen buka suara saja tidak.”

“Lalu, bagaimana kabarnya sekarang?” tanya Marc khawatir.

“Jangan pura-pura mengkhawatirkannya, Marc! kalau kau peduli kau tidak akan melakukan itu. Tunggu dulu, memangnya kau melakukan apa tadi malam?” Alex menjentikan jarinya. “Aha, aku tau. Kau tidak akan jauh-jauh melakukan making love atau mencium wanita yang baru kau kenal. Yayayaa as always.”

Merasa di rendahkan, Marc geram. Dia mendorong tubuh Alex sampai dengan terjatuh.

“Jaga ucapanmu! Jangan seenaknya kau berkata seperti itu!”

“Memang benarkan kejadiannya seperti itu?” cibir Alex.

“Sialan kau!”

“Kau yang sialan!!!!”

Bug…
                                                                        *****
Di ruang tengah yang menghadap ke halaman dimana Marc dan Alex sedang bertengkar, orang yang memperhatikan mereka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

“Aku tidak menyuruh mereka untuk menjadi seperti itu,” ujar Julia.

Rosernya hanya meringis dan mengusap-ngusap dadanya.

“Entah apa yang mereka persoalkan, yang jelas mereka seperti orang yang tidak berpendidikan saja,” ucap Julia berlalu.

Roser menghela napas berat dan berpikir apa yang telah membuat kedua anaknya menjadi seperti ini. Kemudia, satu nama terlintas ke otaknya. Amanda. Apakah ini ada hubungannya dengan gadis blasteran itu?

                                                                        *****
Setelah kedua kakak beradik itu puas saling melanyangkan tinju, keduanya membantingkan tubuhnya pada rumput rumput yang dengan senang hati menopang mereka.

“Kita seperti Damon dan Stefan Salvatore,” ucap Alex tiba-tiba.

Marc hanya melihat sekilas kepada Alex yang tak jauh berbaring darinya, kemudian mengusap darah disudut bibirnya.

“Itu adalah cerita vampire yang dikarang oleh LJ Smith, bulan lalu aku baru membaca novelnya. Mereka itu adik kakak dan menyukai satu gadis yang sama yang bernama Elena,” Alex melihat ke arah Marc menunggu reaksi kakaknya.

“Akhir cerita itu bagaimana?” tanya Marc penasaran.

Alex tersenyum geli mendengar pertanyaan kakaknya tersebut. “Sebenarnya itu keputusan yang sulit bagi Elena, terlebih dia mencintai keduanya. Tapi akhirnya dia lebih memilih anak bungsu keluarga Salvatore yaitu Setefan, pedahal dia menyukai Damon juga."

“Kenapa Elena lebih memilih Stefan? Pedahal dia menyukai Damon juga kan?” Marc tertatih-tatih untuk bangkit dan duduk sembari menghela napas berat.

Alex pun melakukan hal yang sama dan mengangkat pundaknya. “Entahlah, aku belum sempat tamat membaca novel terakhirnya.”

Marc memutar bola matanya. “Lantas, Amanda akan memilih siapa? Aku yang bagaikan Damon atau kau yang bagaikan Stefan?”

bersambung......

Senin, 29 Juni 2015

Fanfiction: 17 February Part 2

*Maaf semaaf maafnya, covernya gatau disimpen dimana huhuuuu*


Masih di depan Hotel La Froz, Sasha mondar-mandir dengan mulutnya yang mengucapkan sumpah serapah. Sudah beberapa kali dia menelepon tetapi tidak di angkat oleh pemilik nomer tersebut. Dan untuk yang ke 6 kalinya, teleponnya di angkat.

“Apa ini dengan Marc Marquez Alenta?” tanya Sasha tanpap basa basi.

“Si, saya dengan Marc Marquez Alenta. Ini dengan siapa?” jawab lelaki di sebrang sana.

“Bisakah kita bertemu? Ada hal yang ingin saya bicarakan.”

“Maaf tapi Anda siapa?”

Sasha menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia sangat kesal sekali. “Saya Sasha, bisakah kita bertemu? Ini penting sekali."

“Sasha siapa?” tanya lelaki bernama Marc tersebut.

“Pleasee… gua---“

Klik. Telepon di matikan oleh Marc.

Sasha melongo. “Sial!” ucapnya.

                                                                                                *****
Marc sengaja memutuskan teleponnya karena dia tidak ingin membuang-buang waktunya berbicara dengan orang yang tidak jelas. Tapi selang beberapa detik saat dirinya memutuskan telepon, nomer yang tadi meneleponnya kini meneleponnya kembali.

“Bener-bener gigih banget. Yaa kita layani saja kegigihannya ini.”

“Ya halo?”

                                                                                                *****
“Pleasee… kita harus ketemu. Ada yang saya ingin bicarakan dengan Anda soal janji Anda di Hotel La Froz.”

Dan akhrinya lawan bicaranya kini menyutujui ajakannya tersebut.

“Yayaya terimakasih. Saya tunggu Anda di depan hotel La Froz.”

Sasha menghela napas lega. Akhirnya orang yang bernama Marc itu bisa menemuinya. Ya mungkin saja dia bisa mempengaruhi orang tersebut agar meng-cancel bookingannya.

                                                                                                *****
Marc penasara saja dengan orang yang bernama Sasha ini. Orang itu sangatlah gigih dan langsung ke pokok tujuan yang dia inginkan. Maka dari itu, dia menyalakan mesin mobilnya kembali dan pergi ke Hotel La Froz.

Jarak yang ia tempuh kira-kira 10 menit dan setelah ia sampai Hotel La Froz. Di depan hotel tersebut terlihat seorang gadis cantik yang sedang memainkan ponselnya. Gadis tersebut mendongak dan berjalan ke arah mobil Marc.

Marc keluar dari mobilnya dan bersender di pintu mobilnya. 

“Hay, aku yang meneleponmu tadi,” ucap Sasha sembari mengulurkan lengannya. “Sasha Pieterse, panggil saja aku Sasha.”

“Marc, Marc Marquez,” balas Marc.

Sepertinya, masing-masing dari mereka tidak tau mereka sedang berbicara dengan siapa.

“Well, aku ingin membicarakan janjimu di hotel ini.”

Marc menganggukan kepalanya.

“So, bisakah kita pergi ke tempat yang enak untuk kita mengobrol?”

“Ya, itu ide bagus. Karena tidak enak mengobrol sembari berdiri seperti ini,” ucap Marc.

Sasha tertawa kecil kemudian mengikuti langkah Marc yang membukakan pintu mobil untuk Sasha. “Terimakasih,” ucapnya. Sebenarnya dia takut pergi bersama orang asing di Negeri orang lain tetapi, dia memiliki perasaan bagus kepada lelaki ini, sepertinya dia orang baik.

Marc tidak keberatan mengajak gadis cantik ini untuk duduk di mobilnya. Lagian dia sudah biasa seperti ini. Mom nya yang selalu mengatur jadwal date dengan gadis yang tidak dikenalinya dan mengantar pulang gadis tersebut. Jadi, apa bedanya mengobrol bersama gadis yang tidak dikenalinya dan mengantarkannya pulang? Itu sama saja kan.

                                                                                                *****
Setelah memesan makanan di café yang tak jauh dari Hotel La Froz, Sasha membuka percakapan di antara mereka mengenai apa yang dia inginkan di Hotel La Froz. Marc mengangguk-ngangguk menanggapi apa yang dikatakan oleh orang di hadapannya ini.

“Jadi, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Anda, bisakah Anda meng-cancel janji Anda di hotel tersebut? Tenang, apa pun yang Anda inginkan akan coba saya penuhi.”

Marc tersenyum dan mencondongkan tubuhnya. “Bagaimana kalau saya menginginkan Anda?”

Sasha mengangkan halisnya. “Maaf?”

Marc tertawa. “Tidak saya hanya bercanda. Tapi, maaf nona saya yang sudah booking duluan tempat itu dan saya berhak untuk mendapatkannya.”

“Tapi, saya akan menggantikan kerugian Anda,” ujar Sasha dengan nada tak sabaran.

“Siapa yang cepat dan dia yang dapat. That’s rules. Dan Anda terlambat nona.”

Sasha menghela napas dan mencondongkan tubuhnya. “Listen. Gua datang jauh-jauh ke sini cuman buat ngerayain ulang tahun gua di hotel tersebut. Hello, ini acara cuman satu tahun sekali. Lagian, lo kan orang Spanyol asli, lo taukan tempat yang bagus dimana.”

Marc menggelengkan kepalanya. Gadis manis yang ditemuinya tadi kini telah berubah menjadi gadis pemaksa ulung.

“Saya juga akan merayakan ulang tahun saya disana dan seperti yang Anda bilang kalau saya tau tempat-tempat bagus disini saya akan menyarankan tempat indah yang cocok untuk merayakan ulang tahun Anda.”

Sasha mengerjap-ngerjap. Lelaki itu berkata akan merayakan hari ulang tahunnya? Pada tanggal 17 Februari? 

“Ulang tahun lo 17 Februari?” tanya Sasha terkejud. Bagaimana tidak terkejud? Dia mendapati orang asing yang tanggal ulang tahunnya sama dengannya. Ini sangat lucu.

Marc mengangguk dan menyeruput juice yang ia pesan. 
 
“OMG!” pekik seseorang yang membuat Sasha dan Marc menoleh.

“Boleh kah aku meminta foto bareng? Oh Ya Tuhan ini seperti mimpi!” ujar seorang gadis berkuncir dua yang membawa camera pocketnya. 

“Boleh,” ucap Sasha dan Marc bersamaan. Keduanya saling tatap dan tak mengerti apa yang dikatakan oleh masing-masing dari mereka.

“Excuisme, yang dimaksud dia itu kepada gua,” ujar Sasha dengan manis.

Marc menggelengkan kepalanya. “No, maksudnya kepadaku.”

Sasha melongo. Lelaki didepannya ini sangtalah percaya diri sekali. “Seriously? Who do you think you are, huh?” tanya Sasha.

“Okey guys, aku ingin di foto bareng dengan kalian berdua! Oh Ya Tuhan kalian memang pasangan yang serasi, Sasha Pieterse dan Marc Marquez! Aku senang jika ke dua idola ku ini bersama.” Gadis itu pun memanggil pelayan café dan menyuruhnya untuk memotret mereka bertiga. Sementara Sasha dan Marc mereka saling pandang.

Setelah mereka berfoto dengan fans, mereka hanyut ke dalam pikirannya masing-masing sembari menikmati makanan yang mereka pesan. Marc diam-diam mengamati Sasha dari atas sampai bawah. Kaos, jaket dan skinny jeans. Percis apa yang dikatakan Titto kepadanya. Apa benar Sasha dihadapannya kini adalah Sasha Pieterse aktris yang dibicarakan oleh temannya tersebut?

Karena penasaran, Marc pun googling ke internet untuk mencari gambar Sasha Pieterse dan ternyata benar. Tangannya men-scroll down berita tentang Sasha dan mendapati biodata dirinya. Tanggal dan bulannya lahirnya percis seperti dia, hanya saja Marc lebih tua 3 tahun darinya.

“Sedang mencari diriku di google?” tanya Sasha mengagetkan.

Marc buru-buru menyimpan ponselnya kembali. “Tidak,” dustanya.

Sasha membulatkan mulutnya. “Jadi, bagaimana? Apakah lo bakal,---“

“Dengar ya Sasha,” ujar Marc memotong pembicaraan Sasha. “Mau lo ngebujuk gua sampe lo ngebudah gua tetep enggak mau acara gua di cancel di tempat lo. Seperti yang lo katakana, acara ini cuman berlangsung selama satu tahun sekali.”

Sasha mengkerutkan keningnya, tak menyangka jika lawan bicaranya ini akan berkata seperti itu.
“Gua udah lama pengen negerayain ulang tahun gua disitu. Walau pun gua orang Spanyol dan tau tempat-tempat asyik disini tapi, gua pengennya acara ulang tahun gua di adain di tempat itu. Udahlah lo bisa pulang ke Negara lo dan ngadain ulang tahun disana atau kalau lo bersikeras pengen ngadain acara ulang tahunnya disitu lo bisa kan ngerayain enggak tanggal 17 nya,” cerocos Marc panjang lebar.

“Seharusnya lo juga bisakan enggak ngerayain enggak tanggal 17 nya. Please… lo ngalah ke gua. Apa ini yang dilakuin sama cowok Spanyol kalau lagi berhadapan sama cewek. Enggak pernah ngalah? Egois?”

Marc menggaruk-garuk kepalanya. Dia kesal. “Lo enggak ngerti gua.”

Sasha tertawa sumbang. “Yaa jelas lah gua enggak ngerti lo, emangnya lo siapanya gua?”

Marc benar-benar sudah prustasi dengan gadis di hadapannya ini. “Denger ya, gua enggak ingin acara ulang tahun gua in di atur oleh Mom gua lagi. Gua enggak mau acara ulang tahunnya berubah jadi acara perjodohan. Please, kalau lo aktris baik hati lo ngertilah keinginan gua,” curhat Marc.

Sasha melongo. Perjodohan? Rasanya dia ingin sekali tertawa.

bersambung....