Tidur
Rasa
kantuk mulai melanda di saat aku menjadi penumpang bus yang menawarkan berbagai
jajanan dari tukang asongan yang sedang mencari rejeki. Kala itu jam sudah
menunjukan pukul 5 sore dan rasa sakit yang didapat sekitar tiga jam lalu masih
terasa. Ku usap pipi yang menjadi sasaran empuk bogemnya, masih hangat dan
terasa nyeri. Ku kerahkan lidah untuk mencari gigi yang somplak dan ternyata
memang ada gigi yang somplak. Aku menghela napas berat dan air mata pun
merembes keluar. Saat ini aku benci pada diriku, bagaimana bisa seorang
pembangkang seperti ku bisa menangis dalam kerumunan orang-orang?
*****
Tidur
ku sangat cukup, bahkan lebih dari cukup. Setelah sampai di kosan aku langsung
merebahkan diri dan juga mengingat kejadian itu. Energi benci, marah dan takut
membuat aku teridur dengan mata yang dibanjiri tangis. Saking sibuknya aku
menangisi kejadian kemarin aku jadi lupa untuk mengerjakan tugas yang ada di
modul.
Aku
duduk di kelas dengan perasaan nyeri di pipi karena semilir angin seperti
meniupkan jarum-jarum pada pipiku, perasaan ingin tertawa tapi ku urungkan
keinginan ku karena pada saat itu tertawa menimbulkan rasa nyeri pada pipi ku.
Hal yang paling menyebalkan dari itu semua adalah aku tidak bisa meminum es
atau meggigit makanan karena gigi ku masih dalam tahap linu.
Tapi,
sebagai mahasiswa yang tidak mengerjakan tugas, perasaan deg-degan mengalahkan
rasa sakit itu semua saat dosen memasuki ruangan yang di jaga oleh empat dinding
putih. Untungnya dewi fortuna sedang kasihan kepadaku. Tugas yang aku tidak
kerjakan itu tidak dibahas oleh beliau.
Dengan
luka yang merah pada pipi kanan ku serta warna hijau yang berada di kelopak
mata ku ini membuat orang-orang bertanya tentang caraku mendapatkan itu semua.
Ada yang mengira aku salah memakai bedak sehingga menimbulkan bercak merah
titik-titik dan ada juga yang dengan gamblangnya menyeruakan pendapatnya bahwa
aku terkena bogem.
Aku
tidak pernah mendapat luka seperti ini. Bahkan ketika hari berlalu digantikan
dengan hari baru, luka itu masih tetap ada. Kali ini warnanya lebih jelas,
dengan luka ku ini orang akan berkata bahwa luka ku ini menjadi getih wuwungan.
Ah,
kapan luka ini akan hilang? Tapi, walaupun luka yang ada di pipiku hilang tetap
saja gigiku somplak. Jika aku nyengir di depan kaca atau sedang bersolek aku
akan teringat dengan kejadian itu. Semakin aku memgingatnya semakin pula aku
takut untuk bertemu dengan orang itu. Aku ingin menghindarinya, kalau bisa aku
tidak ingin bertemu selama-selama nya dengan dirinya. Menangis juga tidak ada
gunanya, bahkan tangis itu berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Dan tidak
pernah terpikirkan oleh ku untuk pulang ke tempat yang katanya damai itu.
Enggan? Iya. Takut? Takut sekali.
Ingin
rasanya aku mengalami amnesia saat aku terbangun, tapi apa gunanya amnesia jika
selalu ada kata sembuh yang mendampingi kata sakit? Tangis sebelum tidur juga
sudah tidak ada gunanya. Walaupun memangis, tangis itu berubah menjadi tangisan
kemarahan. Ah… aku benar-benar bisa gila jika terus hidup dengan kenangan bogem
yang mengikuti di belakang. Salah satunya jalan agar aku tidak gila adalah
dengan tertidur. Hanya tertidur atau tidur selamanya.
Sindi,
Bandung19 Desember 2015 6.26 pm
Terimakasih
kepada lagu Greyson Chance, Sunshine & City Light yang sudah menemani
FIN
well, ini jadi postingan comeback nya (?) aku hehe.. yaa walaupun eksekusi endingnya kurang baik tapi aku harap kalian suka.
Lavv buat semua readers yang udah suka baca di blog aku. Muah!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar