Sabtu, 19 Desember 2015

Cerpen: Tidur



Tidur

Rasa kantuk mulai melanda di saat aku menjadi penumpang bus yang menawarkan berbagai jajanan dari tukang asongan yang sedang mencari rejeki. Kala itu jam sudah menunjukan pukul 5 sore dan rasa sakit yang didapat sekitar tiga jam lalu masih terasa. Ku usap pipi yang menjadi sasaran empuk bogemnya, masih hangat dan terasa nyeri. Ku kerahkan lidah untuk mencari gigi yang somplak dan ternyata memang ada gigi yang somplak. Aku menghela napas berat dan air mata pun merembes keluar. Saat ini aku benci pada diriku, bagaimana bisa seorang pembangkang seperti ku bisa menangis dalam kerumunan orang-orang?
                                                                        *****

Tidur ku sangat cukup, bahkan lebih dari cukup. Setelah sampai di kosan aku langsung merebahkan diri dan juga mengingat kejadian itu. Energi benci, marah dan takut membuat aku teridur dengan mata yang dibanjiri tangis. Saking sibuknya aku menangisi kejadian kemarin aku jadi lupa untuk mengerjakan tugas yang ada di modul. 

Aku duduk di kelas dengan perasaan nyeri di pipi karena semilir angin seperti meniupkan jarum-jarum pada pipiku, perasaan ingin tertawa tapi ku urungkan keinginan ku karena pada saat itu tertawa menimbulkan rasa nyeri pada pipi ku. Hal yang paling menyebalkan dari itu semua adalah aku tidak bisa meminum es atau meggigit makanan karena gigi ku masih dalam tahap linu.

Tapi, sebagai mahasiswa yang tidak mengerjakan tugas, perasaan deg-degan mengalahkan rasa sakit itu semua saat dosen memasuki ruangan yang di jaga oleh empat dinding putih. Untungnya dewi fortuna sedang kasihan kepadaku. Tugas yang aku tidak kerjakan itu tidak dibahas oleh beliau.

Dengan luka yang merah pada pipi kanan ku serta warna hijau yang berada di kelopak mata ku ini membuat orang-orang bertanya tentang caraku mendapatkan itu semua. Ada yang mengira aku salah memakai bedak sehingga menimbulkan bercak merah titik-titik dan ada juga yang dengan gamblangnya menyeruakan pendapatnya bahwa aku terkena bogem.

Aku tidak pernah mendapat luka seperti ini. Bahkan ketika hari berlalu digantikan dengan hari baru, luka itu masih tetap ada. Kali ini warnanya lebih jelas, dengan luka ku ini orang akan berkata bahwa luka ku ini menjadi getih wuwungan

Ah, kapan luka ini akan hilang? Tapi, walaupun luka yang ada di pipiku hilang tetap saja gigiku somplak. Jika aku nyengir di depan kaca atau sedang bersolek aku akan teringat dengan kejadian itu. Semakin aku memgingatnya semakin pula aku takut untuk bertemu dengan orang itu. Aku ingin menghindarinya, kalau bisa aku tidak ingin bertemu selama-selama nya dengan dirinya. Menangis juga tidak ada gunanya, bahkan tangis itu berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Dan tidak pernah terpikirkan oleh ku untuk pulang ke tempat yang katanya damai itu. Enggan? Iya. Takut? Takut sekali.

Ingin rasanya aku mengalami amnesia saat aku terbangun, tapi apa gunanya amnesia jika selalu ada kata sembuh yang mendampingi kata sakit? Tangis sebelum tidur juga sudah tidak ada gunanya. Walaupun memangis, tangis itu berubah menjadi tangisan kemarahan. Ah… aku benar-benar bisa gila jika terus hidup dengan kenangan bogem yang mengikuti di belakang. Salah satunya jalan agar aku tidak gila adalah dengan tertidur. Hanya tertidur atau tidur selamanya.


Sindi, Bandung19 Desember 2015 6.26 pm
Terimakasih kepada lagu Greyson Chance, Sunshine & City Light yang sudah menemani

FIN

well, ini jadi postingan comeback nya (?) aku hehe.. yaa walaupun eksekusi endingnya kurang baik tapi aku harap kalian suka.
Lavv buat semua readers yang udah suka baca di blog aku. Muah!!