Selasa, 07 Juli 2015

Just The Way You Are #12 (fanfiction)

Hallooo..... maafkan aku baru ngepost lagi. maafin banget udah ngecewain kalian dan bikin kalian nunggu-nunggu kelanjutan fanfiction ini, pedahal saya tau nunggu itu adalah pekerjaan yang membosankan :( *emang ada yang nungguin gitu?* bukan karena apa-apa, karena jadwal kuliah saya yang padet jadinya sulit buat nge posting. tapi, tenang kok saya bakal namatin semua fanfiction yang saya buat walaupun tidak dalam waktu dekat karena saya berprnsip kalau cerita itu harus punya akhir dan enggak boleh ngegantung, kasian kan para tokohnya :(.

hmmm... udah satu tahun lamanya ya saya jadi penulis fanfiction dan blogger hehee.. 
.
.
.

We like Salvatore Brothers

Alex baru saja membuka pintu rumahnya saat suara seorang pria memanggilnya dari arah ruang tamu.

“Dari mana saja kau?” ujar Marc sembari melipat Koran dan menaruhnya di atas meja.

Alex tak menjawab pertanyaan dari kakaknya. Dia malah nyelonong saja dan merebahkan dirinya di sofa yang berada di depan TV.

Marc geram, merasa tak dihargai oleh adiknya. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri adiknya. 

“Dari mana saja kau?” tanya Marc sekali, kali ini dengan nada di naikan.

“Bukan urusanmu.”

Marc menarik lengan Alex sehingga adiknya itu berdiri.

“Kau bilang bukan urusanmu, huh? Kau baru pulang pagi ini, kemana saja kau semalam?”

Alex menatap Marc dengan tatapan marah. Dia melepaskan cengkraman Marc dengan kasar dan mendorong dada kakaknya.

“Kau brengsek, Marc!”

Marc kaget dengan perilaku adiknya tersebut. Dia tak menyangka bahwa adiknya itu akan mendorong dirinya.

“Kapan kau akan dewasa, huh? Umurmu saja yang sudah besar tapi, perilakumu masih seperti anak kecil khusunya pada seorang perempuan.”

Marc menolak pinggangnya dan berdecak. “Tau apa kau tentang perempuan? Dasar anak kecil!”

“Aku memang masih anak kecil, Marc. Tapi, aku tau kalau perempuan itu tidak sama dengan boneka yang bisa dimainkan sesuka hatimu.”

Marc tertawa mengejek. “Mereka jelas berbeda, Alex.” 
 
“Lalu, kenapa kau mempermainkan hati mereka? Terutama dengan Amanda.”

Bayang-bayang Amanda muncul ketika Alex mengucapkan nama gadis itu. Apalagi ketika dirinya tengah mencium Laia, ada sedikit rasa bersalah menjalar pada dirinya.

“Kenapa kau terus membuat Amanda menangis, Marc? Memang apa salah dia?”

Marc tertawa sumbang. “Memangnya kenapa? Kau melarangku? Memangnya kau siapanya Amanda? Pacarnya? Ups, bukan kan?”

Tangan Alex mengepal mendengar perkataan Marc. “Kau brengsek Marc!!!!” ujar Alex sembari mendorong dada kakaknya sekuat tenaga.
 
Prang….

Marc terjatuh dan menghantam guci yang berada dibelakangnya. Ia melihat telapak lengannya berdarah dan menatap Alex dengan perasaan benci. “Sialan kau Alex!” Marc pun bangkit dan menghantam Alex sehingga mereka bergulat di lantai.
 
                                                                        *****
Roser buru-buru meninggalkan dapur saat dirinya mendengar suara benda pecah dari arah ruang TV. Setelah sampai di ruang TV ia kaget dengan pemandangan yang ada di hadapannya. Kedua anaknya itu sedang melayangkan tinju kepada satu sama lain.

“Hentikan! Kalian ini apa-apaan?” ujar Roser.

“Dasar bajingan kau Marc!”

“Aku tak akan memaafkanmu Alex! Kau telah membuat lenganku berdarah.”
Bug…

Marc meninju pipi Alex. Adiknya itu mengerang kesakitan. Tapi, Marc tidak memberinya ampun, dia menarik kerah baju Alex dan memaksanya untuk berdiri. Marc sedang kalap. Dia meninju perut Alex sampai dengan adiknya itu muntah darah.

“Marc! Hentikan! Sadarlah, itu adikmu!” ujar Roser mengingatkan Marc.

Marc diam sebentar dan melihat ke arah Roser. Karena merasa diberi kesempatan, Alex pun mendorong tubuh Marc sehingga terjatuh. Dan kali ini Alex yang memukul Marc habis-habisan.

Roser memegang keningnya. Merasa tak mampu memisahkan kedua anakanya tersebut, ia pun berlari ke lantai dua untuk memanggil Julia.

                                                                        *****
Beberapa hari lagi pemberangkatannya ke Indonesia, Amanda ingin cepat-cepat sampai dimana dirinya itu meninggalkan Spanyol. Semenjak kejadian tadi malam, Amanda menjadi gadis yang pendiam. Walaupun Alex mengantarnya sampai rumah bahkan menginap di rumahnya dan menghibur dirinya tapi, tetap saja bayang-bayang Marc mencium wanita itu terus berselewengan dalam ingatannya. Saat ditanya oleh Maria pun, Amanda hanya menjawab seperlunya. Bahkan Amanda tidak mendengarkan nasihat dari Gerardo yang datang subuh tadi.

“Amanda,” panggil Maria menghampiri Amanda yang berdiri di teras balkon. “Kau harus makan, sayang,” bujuk Maria.

Amanda diam membeku. Tatapan matanya kosong dan kepalanya dimiringkan ke arah kanan. Gadis itu rapuh. 

“Ayolah sayang, sudah kubuat makanan kesukaanmu.”

Tak ada respon. Maria menghela napas dan mengusap-ngusap bahu Amanda.

“Aku tak tau apa salahku kepadanya,” ujar Amanda dengan nada parau dan air mata pun bercucuran. Benteng pertahannya telah runtuh. Gadis itu tak kuasa menahan tangisnya.

“Sudahlah… dia memang brengsek.”

Amanda menghela napas dan menatap Maria. “Jika dia lelaki brengsek, kenapa aku tetap menyukainya Maria?”

“Karena cinta itu buta, sayang. Kau akan tetap mencintainya walau pun dia telah menyakitimu. Itulah yang di namakan cinta. Indah bila dibayangkan namun, sakit bila kenyataan.”

Amanda memejamkan matanya. Niat dia datang ke sini adalah untuk berlibur, untuk mencari inspirasi untuk lukisannya bukan untuk sakit hati.

“Ayo, sayang. Sekarang kita makan, ya?” bujuk Maria sekali lagi.

Amanda menggeleng dan melepaskan lengan Maria di pundaknya. “Tinggalkan aku sendiri, Maria.”

                                                                        *****
“Bagus bagus,” ucap Julia menatap putranya yang babak belur. “Jadi, sekarang kalian akan pindah profesi menjadi petinju, begitu?”

Marc dan Alex diam saja. 

“Jawab!!!” sentak Julia.

Roser menghela napas berat. Wanita itu menggelengkan kepalanya tak menyangka kedua putranya akan berbuat seperti itu.

“Alex yang mulai duluan,” adu Marc.

Alex menatap Marc dan membulatkan matanya.

“Kenapa Alex bisa mulai duluan?” tanya Julia.

“Dia…. Dia mabuk,” ucap Marc asal.

Sontak saja Alex bangkit dari duduknya.

“Kau,” tunjuk Alex pada Marc. “Benar benar brengsek sejati, Marc!!!”

“Memang benarkan kau mabuk? Memang apalagi kalau jam segini baru pulang kalau bukan mabuk?”

“Dasar brengsek!” Alex menarik kerah baju Marc dan melayangkan tinjunya.

Roser berteriak histeris sementara Julia geleng-geleng kepala. “kalian berdua hentikan!!!” perintah Julia. Pria itu pun berdiri dan mengisyaratkan kepada putranya untuk mengikutinya. Julia membuka pintu halaman belakang dan menarik kedua putranya ke tengah-tengah halaman belakang.

“Aku tidak tau kenapa kalian bertengkar, atau memang benar Alex mabuk dan menyerang Marc?”

Alex mengkerutkan keningnya, “aku tidak mabuk!”

Julia manggut-manggut. “Yasudah, sekarang jika kalian masih ingin bertengkar aku beri arena untuk kalian. Silahkan bertengkar sesuka hati kalian, kami tidak melarang. Jika, sudah ada yang menang beri tau kami,” ujar Julia berlalu.

                                                                        *****
Marc membuang muka saat dilihatnya Alex sedang membersihkan darah di sudut bibirnya menggunakan kaosnya. Baru kali ini dia meninju adik nya sendiri dan baru kali ini juga dia merasakan tinju dari adiknya.

“Aku tidak mabuk,” ucap Alex membuka suara. Lelaki jangkung itu menghampiri Marc dan menatapnya dengan tatapan benci.

“Aku menginap di apartemen Amanda semalam,” lanjut Alex.

Marc mengkerutkan keningnya. “Menginap?” tanyanya.

Alex mengangguk. “Dia sangat rapuh. Dan kenapa dia rapuh? Itu karena ulahmu Marc! kau sudah tau kan bahwa Amanda itu menyukaimu? Tapi, kenapa kau tidak sedikit saja menghargai perasaannya?”

Marc mengangkat bahunya. “Aku tidak tau kalau Amanda akan melihat kejadian itu.”

“Kejadian apa?”

“Memangnya Amanda tidak memberitaumu?”

Alex tertawa sumbang, “jangankan dia memberitau apa yang kau lakukan sampai ke apartemen buka suara saja tidak.”

“Lalu, bagaimana kabarnya sekarang?” tanya Marc khawatir.

“Jangan pura-pura mengkhawatirkannya, Marc! kalau kau peduli kau tidak akan melakukan itu. Tunggu dulu, memangnya kau melakukan apa tadi malam?” Alex menjentikan jarinya. “Aha, aku tau. Kau tidak akan jauh-jauh melakukan making love atau mencium wanita yang baru kau kenal. Yayayaa as always.”

Merasa di rendahkan, Marc geram. Dia mendorong tubuh Alex sampai dengan terjatuh.

“Jaga ucapanmu! Jangan seenaknya kau berkata seperti itu!”

“Memang benarkan kejadiannya seperti itu?” cibir Alex.

“Sialan kau!”

“Kau yang sialan!!!!”

Bug…
                                                                        *****
Di ruang tengah yang menghadap ke halaman dimana Marc dan Alex sedang bertengkar, orang yang memperhatikan mereka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

“Aku tidak menyuruh mereka untuk menjadi seperti itu,” ujar Julia.

Rosernya hanya meringis dan mengusap-ngusap dadanya.

“Entah apa yang mereka persoalkan, yang jelas mereka seperti orang yang tidak berpendidikan saja,” ucap Julia berlalu.

Roser menghela napas berat dan berpikir apa yang telah membuat kedua anaknya menjadi seperti ini. Kemudia, satu nama terlintas ke otaknya. Amanda. Apakah ini ada hubungannya dengan gadis blasteran itu?

                                                                        *****
Setelah kedua kakak beradik itu puas saling melanyangkan tinju, keduanya membantingkan tubuhnya pada rumput rumput yang dengan senang hati menopang mereka.

“Kita seperti Damon dan Stefan Salvatore,” ucap Alex tiba-tiba.

Marc hanya melihat sekilas kepada Alex yang tak jauh berbaring darinya, kemudian mengusap darah disudut bibirnya.

“Itu adalah cerita vampire yang dikarang oleh LJ Smith, bulan lalu aku baru membaca novelnya. Mereka itu adik kakak dan menyukai satu gadis yang sama yang bernama Elena,” Alex melihat ke arah Marc menunggu reaksi kakaknya.

“Akhir cerita itu bagaimana?” tanya Marc penasaran.

Alex tersenyum geli mendengar pertanyaan kakaknya tersebut. “Sebenarnya itu keputusan yang sulit bagi Elena, terlebih dia mencintai keduanya. Tapi akhirnya dia lebih memilih anak bungsu keluarga Salvatore yaitu Setefan, pedahal dia menyukai Damon juga."

“Kenapa Elena lebih memilih Stefan? Pedahal dia menyukai Damon juga kan?” Marc tertatih-tatih untuk bangkit dan duduk sembari menghela napas berat.

Alex pun melakukan hal yang sama dan mengangkat pundaknya. “Entahlah, aku belum sempat tamat membaca novel terakhirnya.”

Marc memutar bola matanya. “Lantas, Amanda akan memilih siapa? Aku yang bagaikan Damon atau kau yang bagaikan Stefan?”

bersambung......